DILEMA TANPA RANKING: ANTARA MENJAGA MENTALITAS ATAU MEMBESARKAN GENERASI YANG RAPUH?
Dunia pendidikan Indonesia sedang mengalami pergeseran
paradigma yang cukup drastis. Salah satu perubahan yang paling memicu
perdebatan panas di ruang guru, grup WhatsApp orang tua, hingga media sosial
adalah kebijakan penghapusan ranking di sekolah. Alasan utamanya sering kali
terdengar sangat humanis: demi kesehatan mental murid, agar tidak ada yang
merasa "tertinggal," dan untuk menjaga stabilitas psikologis anak.
Namun, benarkah menghapus indikator prestasi adalah jalan
keluar yang bijak? Ataukah kita sedang secara tidak sadar membangun
"benteng kaca" yang melindungi anak-anak dari realitas, namun justru
membuat mereka hancur saat pertama kali menyentuh kerasnya dunia nyata?
Mari kita bedah secara mendalam mengapa kebijakan tanpa
ranking tersebut perlu ditinjau ulang dari berbagai perspektif: logika,
psikologi, dan realitas masa depan.
1. Logika yang "Rapuh": Apakah Menghapus Nilai
Berarti Menghilangkan Masalah?
Argumen klasik yang sering kita dengar adalah: "Ranking
membuat murid yang di bawah merasa rendah diri." Secara sepintas, argumen
tersebut masuk akal. Tidak ada orang tua yang ingin melihat anaknya sedih
karena berada di urutan buncit.
Namun, jika logika tersebut kita tarik lebih jauh, kita akan
menemukan keganjilan. Jika kita menghapus ranking karena takut mental anak
"down", maka secara konsisten kita seharusnya juga:
- Menghapus
juara dalam setiap perlombaan olahraga (karena yang kalah akan sedih).
- Menghapus
audisi seni atau kompetisi pidato (karena yang tidak terpilih akan merasa
tidak berbakat).
- Menghapus
sistem nilai (karena nilai kecil bisa melukai perasaan).
Jika semua indikator pencapaian tersebut dihilangkan, kita
tidak sedang mendidik anak; kita sedang menyamaratakan segalanya.
Padahal, hidup tidak pernah sama rata. Menghapus ranking demi kebijakan instan
adalah bentuk "kemalasan berpikir" dalam mencari solusi edukasi yang
lebih substantif. Masalahnya bukan pada rankingnya, tapi pada bagaimana kita
menyikapi ranking tersebut.
2. Realitas Dunia Nyata: Hidup Adalah Seri Penilaian
Kita harus jujur pada anak-anak kita sejak dini: Dunia
luar tidak mengenal konsep "semua sama".
Ketika kelak mereka lulus dan memasuki dunia kerja, mereka
akan berhadapan dengan sistem rekrutmen yang sangat kompetitif. Perusahaan akan
memilih kandidat terbaik berdasarkan kualifikasi, pengalaman, dan kemampuan.
Tidak ada perusahaan yang akan mempekerjakan seseorang hanya "supaya
perasaan pelamar lain tidak terluka."
Dunia sosial pun penuh dengan penilaian. Dalam kehidupan
nyata, kompetisi adalah penggerak inovasi. Dengan menyembunyikan realitas
kompetisi di sekolah, kita sebenarnya sedang melakukan disservis (pelayanan
yang buruk) kepada anak. Kita membiarkan mereka hidup dalam gelembung
kenyamanan semu. Akibatnya, kita bukan membesarkan generasi yang tangguh,
melainkan generasi yang "alergi" terhadap evaluasi.
3. Ketidakadilan bagi Mereka yang Berjuang
Setiap pencapaian harus diapresiasi. Hal ini merupakan
prinsip dasar keadilan. Bayangkan seorang murid yang belajar hingga larut
malam, konsisten menjaga kedisiplinan, dan berkorban waktu bermain demi
memahami materi yang sulit. Di sisi lain, ada murid yang bermalas-malasan dan
tidak memiliki motivasi belajar.
Jika hasil akhirnya disamaratakan tanpa ada pengakuan atas
kerja keras (dalam bentuk ranking atau apresiasi prestasi), maka kita
sebenarnya sedang menghukum usaha dan memanjakan kemalasan.
Anak-anak yang ingin meraih ranking bukanlah anak yang jahat
atau haus validasi kosong. Mereka hanya ingin hasil kerja kerasnya diakui.
Pengakuan tersebut merupakan bahan bakar motivasi. Ketika pengakuan tersebut
ditiadakan, semangat untuk menjadi "lebih baik dari diri mereka yang
kemarin" bisa meredup.
4. Belajar dari Bidang Non-Akademik
Mengapa di bidang olahraga (seperti sepak bola atau lari) dan
bidang seni (seperti tari atau pidato), kita selalu merayakan sang juara?
Padahal, jelas tidak semua anak berbakat di sana.
Apakah anak yang kalah dalam lomba lari langsung mengalami
trauma seumur hidup? Mayoritas tidak. Justru, kekalahan tersebut memberi mereka
dua pilihan berharga:
1. Berlatih lebih keras untuk
memperbaiki catatan waktu mereka.
2. Sadar akan batas kemampuan dan
mencari bidang lain yang lebih sesuai dengan bakat mereka.
Lalu, kenapa prestasi akademik justru sering kali
disembunyikan seolah-olah itu adalah sesuatu yang memalukan atau berbahaya?
Akademik, sama halnya dengan olahraga, adalah arena untuk menguji kapasitas
diri. Pengakuan terhadap keunggulan akademik adalah cara kita menghargai
intelektualitas.
5. Ranking Bukan Tentang Menjatuhkan, Tapi Tentang Pemetaan
Kita memahami bahwa pendidikan adalah tentang presisi dan
pengukuran. Ranking seharusnya dipandang sebagai alat pemetaan (mapping),
bukan alat penghakiman.
- Bagi
murid di peringkat atas, ranking adalah pengingat untuk tetap rendah hati
dan terus berkembang.
- Bagi
murid di peringkat bawah, ranking adalah indikator bahwa ada metode
belajar yang harus diperbaiki atau ada bantuan yang perlu segera
diberikan.
Anak yang belum mampu tidak seharusnya
"diselamatkan" dengan cara menghapus indikator ketidakmampuannya.
Mereka harus dibimbing agar mau berusaha lebih baik. Menghapus ranking
adalah solusi kosmetik yang hanya menutupi gejala, tanpa menyembuhkan
penyakitnya (kurangnya motivasi atau efektivitas belajar).
6. Bahaya Generasi yang Rapuh
Jika sejak kecil anak tidak diajarkan menghadapi hasil yang
tidak memuaskan, mereka akan tumbuh menjadi individu yang mudah rapuh (fragile).
Saat mereka menghadapi kegagalan di masa dewasa—entah itu gagal mendapatkan
beasiswa, ditolak saat melamar kerja, atau gagal dalam bisnis—mereka tidak akan
memiliki "otot mental" yang cukup kuat untuk bangkit kembali.
Pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang berani
berkata jujur kepada murid tentang posisi mereka, sambil memberikan dukungan
penuh untuk membantu mereka naik ke level berikutnya. Evaluasi bukanlah
serangan terhadap mental, melainkan cermin untuk perbaikan diri.
Menuju Apresiasi yang Proporsional
Kebijakan pendidikan tidak boleh lahir dari rasa takut yang
berlebihan. Menghapus ranking dengan alasan stabilitas psikologis adalah
langkah yang malas. Yang kita butuhkan bukan penghapusan ranking, melainkan perubahan
budaya dalam memandang ranking.
Orang tua dan guru perlu diedukasi bahwa ranking 1 atau
ranking 30 bukanlah penentu harga diri seorang anak. Namun, ranking adalah
laporan jujur tentang sejauh mana seorang anak telah berproses dalam kurikulum
tertentu.
Mari kita berhenti memanjakan kemalasan atas nama
"kenyamanan mental." Mari kita bangun generasi yang kuat, yang tidak
takut dievaluasi, yang menghargai kerja keras, dan yang siap bertarung di
panggung dunia yang penuh dengan kompetisi nyata.
Karena pada akhirnya, pendidikan bukan hanya soal membuat anak merasa senang di dalam kelas, tapi soal mempersiapkan mereka untuk tetap tegak berdiri saat badai kehidupan datang menerjang.

Posting Komentar untuk "DILEMA TANPA RANKING: ANTARA MENJAGA MENTALITAS ATAU MEMBESARKAN GENERASI YANG RAPUH?"
Posting Komentar