BUKAN KEPALA SEKOLAHNYA YANG SALAH, TAPI KEBIJAKAN YANG MEMBENTUKNYA

Jika ada satu pelajaran penting dalam dunia pendidikan, mungkin itu adalah: kita terlalu sering menyalahkan orang, dan terlalu jarang memperbaiki sistem yang membentuknya. Fenomena tersebut terasa begitu nyata dalam kepemimpinan sekolah. Banyak dari kita pernah bergumam, "Kepala sekolahnya kok begitu, ya?"—otoriter, kaku, atau terlihat hanya sebagai "pelapor birokrasi" yang jauh dari denyut nadi ruang kelas.

Namun, sebelum kita menghakimi individu, mari kita ajukan pertanyaan reflektif: "Sistem apa yang sedang membentuk perilaku mereka?" Kepala sekolah sering berdiri di posisi paling sulit: terjepit antara regulasi yang menuntut dari atas, tuntutan administratif yang tak berujung, dan realitas harian guru serta murid yang membutuhkan perhatian manusiawi. Ketika mereka tampak defensif atau terlalu administratif, bisa jadi itu bukan cermin karakter asli, melainkan strategi bertahan dalam ekosistem yang menuntut demikian.

Artikel berikut akan menelusuri beberapa kebijakan sistemik yang, sering kali tanpa disadari, membentuk pola kepemimpinan yang kurang manusiawi di sekolah, dan mengajak kita untuk beralih dari mencari "kambing hitam" kepada keberanian memperbaiki sistem.

1. Rekrutmen yang Terjebak Pada Administrasi, Bukan Esensi Kepemimpinan

Proses rekrutmen kepala sekolah saat ini sering kali menyerupai perlombaan mengumpulkan sertifikat dan poin administrasi. Kelengkapan berkas, pelatihan formal, dan skor asesmen menjadi penentu utama, sementara kualitas seperti empati, integritas, dan kecakapan memimpin manusia hanya menjadi "pelengkap" dalam rubrik penilaian.

Akibatnya? Kita berisiko memilih pemimpin yang ahli dalam memenuhi checkbox, tetapi belum tentu mampu membangun kepercayaan, memediasi konflik, atau menginspirasi komunitas sekolah. Kepemimpinan sejati adalah seni memanusiakan hubungan, bukan sekadar menguasai prosedur. Sistem rekrutmen yang hanya menyentuh permukaan akan melahirkan pemimpin yang juga hanya bekerja di permukaan.

2. Beban Birokrasi: Ketika Laporan Menjadi Lebih Penting daripada Iklim Sekolah

Inilah paradoks yang memilukan: banyak kepala sekolah lebih sibuk menjaga agar laporan tetap "aman" dan tepat waktu, daripada menjaga agar iklim sekolah tetap sehat dan kondusif untuk belajar. Waktu yang seharusnya digunakan untuk observasi kelas, diskusi dengan guru, atau mendengarkan keluhan murid, habis terkurung oleh formulir, spreadsheet, dan deadline pelaporan.

Dalam sistem yang demikian, keberanian moral sering kalah oleh rasa takut salah prosedur. Inovasi pedagogis yang berisiko—meski berdampak baik—akan dihindari jika prosedurnya belum jelas. Kepala sekolah pun secara tidak langsung "dilatih" untuk menjadi manajer risiko administratif, bukan pemimpin pendidikan visioner.

3. Penilaian Kinerja yang Salah Arah: Prestasi di Atas Kemanusiaan

Bagaimana kita mengukur keberhasilan seorang kepala sekolah? Sayangnya, indikatornya masih sangat sering berkutat pada kepatuhan administratif, fisik bangunan, atau pencapaian angka-angka semu. Sementara itu, parameter yang lebih halus namun fundamental—seperti rasa aman dan nyaman guru, budaya dialog yang terbuka, kualitas diskusi pedagogis, atau kebahagiaan murid—sulit diukur dan kerap diabaikan.

Ironisnya, sistem tersebut secara tidak langsung memberi penghargaan pada kepemimpinan yang otoriter dan top-down. Sebab, gaya kepemimpinan seperti itu sering kali efisien dalam memaksa patuh pada target administratif dalam waktu singkat. Kepala sekolah yang lunak, partisipatif, dan mengutamakan konsensus, justru mungkin dianggap "lamban" atau "tidak tegas" dalam metrik yang salah tersebut.

4. Pembinaan yang Hilang Pasca-Pelantikan

Setelah upacara pelantikan usai dan sorak-sorai mereda, banyak kepala sekolah dibiarkan berjalan sendiri. Mereka dilemparkan ke dalam kolam yang dalam tanpa pelampung coaching atau pendampingan berkelanjutan. Akibatnya, proses belajar memimpin terjadi melalui trial and error di bawah tekanan kebijakan dan harapan yang sangat tinggi.

Bayangkan seorang pilot yang hanya dilatih teori dan ujian tulis, lalu langsung disuruh menerbangkan pesawat penuh penumpang dalam cuaca buruk. Itulah metafora yang terjadi. Tanpa ruang untuk refleksi, umpan balik, dan bimbingan, kesalahan menjadi momok yang ditakuti, dan sikap defensif tumbuh sebagai mekanisme pertahanan diri.

5. Suara Guru: Cermin yang Diabaikan

Inilah ironi paling pahit: guru, yang merupakan ujung tombak pendidikan dan yang paling langsung merasakan dampak kepemimpinan kepala sekolah, sering kali tidak memiliki saluran resmi yang bermakna dalam evaluasi pemimpin mereka. Suara mereka tenggelam dalam hiruk-pikuk administrasi atau dianggap subjektif.

Padahal, guru adalah cermin paling jujur dari iklim sekolah. Mereka merasakan langsung apakah kepala sekolah membuka pintu dialog atau menutupnya, apakah kebijakan mendukung pembelajaran atau justru menghambatnya. Dengan mengabaikan suara guru, kebijakan kehilangan umpan balik yang vital dan terus berputar dalam ruang hampa birokrasi.

Lalu, Ke Mana Kita Harus Melangkah?

Poin-poin tersebut bukan untuk membebaskan kepala sekolah dari tanggung jawab, melainkan untuk memahami bahwa perilaku adalah fungsi dari sistem dan lingkungan. Sekolah kita sebenarnya tidak kekurangan orang baik dan bermaksud baik. Yang sering kali kurang adalah kebijakan yang memberi ruang dan insentif bagi kebijaksanaan untuk tumbuh.

Memperbaiki pendidikan bukanlah soal mengganti orang, tetapi berani membenahi sistem yang membentuk perilaku orang-orang di dalamnya. Jika tidak, kita hanya akan terus berputar dalam siklus mengganti "kambing hitam" tanpa pernah menyentuh pola yang melahirkan masalah berulang.

Kebijakan Apa yang Perlu Diperbaiki?

Pertanyaan penutup berikut sangat powerful: "Menurut Anda, kebijakan apa yang paling perlu diperbaiki agar kepala sekolah bisa memimpin dengan lebih manusiawi?"

Mari kita mulai diskusi dari beberapa usulan konkret:

1. Merombak Sistem Rekrutmen: Integrasikan assessment center yang menguji kompetensi kepemimpinan nyata, seperti simulasi penyelesaian konflik, wawancara mendalam dengan panel yang melibatkan praktisi, dan observasi terhadap jejak kolaborasi kandidat di masa lalu.

2.   Menyederhanakan Birokrasi: Lakukan audit regulasi dan laporan. Mana yang benar-benar berdampak pada peningkatan pembelajaran dan mana yang sekadar rutinitas? Berikan otonomi yang lebih besar dengan pertanggungjawaban yang berbasis pada hasil pendidikan, bukan kelengkapan dokumen.

3.  Merevisi Sistem Penilaian Kinerja: Kembangkan indikator kinerja yang seimbang, memasukkan unsur seperti survei iklim sekolah (dari guru, murid, dan orang tua), portofolio kepemimpinan instruksional, dan bukti peningkatan budaya belajar.

4. Membangun Sistem Pendampingan Berkelanjutan: Buat program coaching dan mentoring pasca-pelantikan yang wajib, dipandu oleh kepala sekolah berpengalaman. Ciptakan komunitas praktisi di mana mereka bisa berbagi tantangan dan solusi tanpa rasa takut dihakimi.

5.   Memasukkan Suara Guru Secara Struktural: Jadikan umpan balik dari guru sebagai komponen wajib dan berpengaruh dalam evaluasi tahunan kepala sekolah, melalui mekanisme yang anonim dan aman untuk menjamin kejujuran.

Pada akhirnya, mengubah kebijakan adalah tindakan optimis. Hal itu berarti kita masih percaya bahwa dengan sistem yang lebih baik, manusia—dengan segala niat baiknya—akan mampu menunjukkan versi terbaik dari kepemimpinannya. Tujuan kita bukanlah menciptakan kepala sekolah yang sempurna, melainkan membangun sistem yang memungkinkan kemanusiaan, kebijaksanaan, dan keberanian untuk tumbuh subur di halaman sekolah kita sendiri.

Posting Komentar untuk "BUKAN KEPALA SEKOLAHNYA YANG SALAH, TAPI KEBIJAKAN YANG MEMBENTUKNYA"