KUNCI AJAIB MENYELESAIKAN MASALAH: BERPIKIR SEPERTI FREAK
Apakah Anda pernah merasa terjebak dalam masalah yang rumit,
baik itu soal matematika yang tak kunjung terselesaikan, tantangan dalam
pekerjaan, atau bahkan dilema pribadi yang membingungkan? Kita sering diajarkan
untuk mengikuti pola pikir konvensional, menggunakan rumus yang sudah ada, dan
mencari solusi di tempat yang biasa. Namun, bagaimana jika masalah yang kita hadapi
adalah jenis masalah yang "sulit," yang telah membuat banyak orang
gagal? Buku "Think Like a Freak: Berpikir Tidak Biasa untuk
Hasil yang Luar Biasa" karya Steven D. Levitt & Stephen J. Dubner
menawarkan sebuah kunci ajaib untuk keluar dari labirin tersebut. Mereka tidak
memberikan alat sulap atau rumus instan, melainkan mengajak kita untuk melatih
kembali otot berpikir kita, melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda, dan
melepaskan diri dari prasangka yang sering menghambat.
Jurus Pertama: Menantang Kearifan Konvensional
Salah satu kebiasaan terburuk yang kita miliki adalah
menerima begitu saja "kearifan konvensional." Bayangkan sebuah
tendangan penalti dalam pertandingan sepak bola. Data menunjukkan bahwa kiper
cenderung melompat ke kanan atau kiri, hanya 2% yang tetap di tengah.
Logikanya, menendang ke sudut gawang adalah pilihan paling aman dan logis. Namun,
data lain menunjukkan bahwa menendang tepat ke tengah gawang justru 7% lebih
mungkin berhasil daripada tendangan ke sudut. Kenapa demikian? Karena kita
sering kali menempatkan kepentingan egois, yaitu menghindari rasa malu jika
gagal, di atas kepentingan komunal, yaitu memenangkan pertandingan untuk tim. Kita
lebih memilih untuk gagal "dengan gagah berani" (menendang ke sudut)
daripada terlihat bodoh (menendang ke tengah).
Buku "Think Like a Freak: Berpikir Tidak Biasa
untuk Hasil yang Luar Biasa" mengajak kita untuk bertanya,
"Bagaimana jika kita tidak menendang ke kanan atau kiri?" Bagaimana
jika kita melakukan hal terkonyol yang bisa dibayangkan dan menendang tepat ke
tengah gawang, tempat yang tampaknya paling berisiko? Tindakan yang dianggap
"aneh" atau "gila," ternyata adalah pilihan yang paling
rasional berdasarkan data. Hal tersebut mengajarkan kita untuk tidak hanya
mengikuti arus, tetapi berani mempertanyakan asumsi yang paling mendasar. Di
dunia matematika, hal tersebut ibarat menantang sebuah teorema yang sudah mapan
dan mencari pendekatan baru yang mungkin terlihat aneh, tetapi sebenarnya lebih
efisien.
Jurus Kedua: Mengatakan “Saya Tidak Tahu” Tanpa Malu
Mengapa begitu sulit bagi kita untuk mengucapkan tiga kata
sederhana: "Saya tidak tahu"? Levitt dan Dubner menjelaskan bahwa
kita memiliki insentif yang sangat besar untuk berpura-pura tahu lebih banyak
daripada yang sebenarnya. Di dunia yang serba cepat ini, di mana informasi
adalah mata uang, mengakui ketidaktahuan terasa seperti kekalahan. Akibatnya,
kita sering memberikan jawaban yang dibuat-buat, yang pada akhirnya bisa
berdampak buruk. Namun, jika kita ingin benar-benar menjadi penyelesai masalah
yang efektif, kita harus memiliki keberanian untuk mengakui ketidaktahuan.
Buku "Think Like a Freak: Berpikir Tidak Biasa
untuk Hasil yang Luar Biasa" mencontohkan eksperimen dengan anak-anak
sekolah yang diminta menjawab serangkaian pertanyaan. Awalnya, mereka cenderung
mengarang jawaban untuk pertanyaan yang tidak bisa dijawab. Namun, setelah
secara eksplisit diizinkan untuk mengatakan "saya tidak tahu," mereka
justru melakukannya dengan sangat baik, sambil tetap menjawab pertanyaan lain
dengan benar. Hal tersebut membuktikan bahwa mengakui ketidaktahuan tidak
membuat kita bodoh. Sebaliknya, mengakui ketidaktahuan adalah langkah pertama
menuju pembelajaran. Bagi seorang pehobi matematika atau pelajar, mengakui
ketidaktahuan adalah pelajaran yang sangat penting. Seringkali, kemajuan dalam menyelesaikan
soal dimulai bukan dari mencari jawaban, tetapi dari mengidentifikasi dengan
jujur bagian mana dari soal tersebut yang belum kita pahami.
Jurus Ketiga: Mendefinisikan Ulang Masalah
Jika Anda mengajukan pertanyaan yang salah, Anda pasti akan
mendapatkan jawaban yang salah. Pikirkan tentang Takeru Kobayashi, juara dunia
makan hot dog. Kebanyakan orang berpikir kunci kemenangannya adalah makan
secepat mungkin. Tetapi Kobayashi mendefinisikan ulang masalah tersebut.
Alih-alih menganggap kontes tersebut sebagai "kontes makan", ia
melihatnya sebagai "masalah menelan". Ia bereksperimen dengan
memisahkan roti dan sosis, mencelupkan roti ke air, dan memerasnya agar menjadi
gumpalan kecil. Metode "gila" tersebut memungkinkannya mengonsumsi 50
hot dog dalam 12 menit, jauh melampaui lawan-lawannya.
Kisah Kobayashi mengajarkan kita bahwa seringkali, solusi
paling inovatif datang dari cara kita membingkai masalah itu sendiri. Begitu
juga dalam dunia matematika, sebuah soal yang tampak mustahil seringkali bisa diselesaikan
dengan cara yang tak terduga jika kita mampu mendefinisikan ulang variabel,
mengubah sudut pandang, atau bahkan melihat pola yang tidak terlihat oleh orang
lain.
Jurus Keempat: Berpikir Seperti Anak-anak
Mengapa anak-anak lebih mudah memahami trik sulap daripada
orang dewasa? Karena orang dewasa, dengan segala ekspektasi, asumsi, dan
pengalaman hidup mereka, justru lebih mudah dibodohi. Mereka terlalu sibuk
mencari petunjuk yang mengarah pada kerangka berpikir konvensional mereka. Sebaliknya,
anak-anak selalu penasaran, pandangan mereka selalu berkelana, dan mereka tidak
takut pada ide-ide yang "terlalu sederhana" atau "tidak
canggih." Mereka melihat dunia sebagaimana adanya, tanpa lapisan
prasangka.
Buku "Think Like a Freak: Berpikir Tidak Biasa
untuk Hasil yang Luar Biasa" menegaskan bahwa kita bisa belajar banyak
dari cara berpikir kekanak-kanakan tersebut. Berpikir kecil, mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang sudah jelas, dan tidak takut pada hal yang tampak
sederhana. Contohnya adalah eksperimen di sebuah sekolah di Tiongkok di mana
para ekonom menemukan bahwa memberikan kacamata seharga 15 dolar kepada murid
yang membutuhkannya meningkatkan nilai ujian mereka 25% hingga 50%. Solusi yang
begitu jelas dan sederhana, yang mungkin dilewatkan oleh mereka yang hanya
fokus pada "solusi besar" seperti reformasi kurikulum atau pendanaan
massal. Jadi, jika kita ingin menyelesaikan masalah, terkadang kita harus
melepaskan kompleksitas yang kita sukai dan kembali ke dasar, dengan rasa ingin
tahu yang murni layaknya seorang anak.
Jurus Kelima: Memahami Insentif Sejati
Mengapa orang berperilaku seperti yang mereka lakukan?
Jawabannya terletak pada insentif. Levitt dan Dubner berpendapat bahwa kita
dapat mendorong perilaku yang kita inginkan, seringkali dengan cara
nonfinansial, jika kita mampu masuk ke dalam pikiran orang lain dan menemukan
apa yang benar-benar penting bagi mereka. Insentif bukanlah sekadar uang. Insentif
bisa berupa keinginan untuk disukai, untuk menonjol, atau bahkan untuk tidak
menonjol.
Contoh yang menarik adalah "Efek Kobra." Ketika
pemerintah Inggris di India menawarkan hadiah untuk setiap kobra yang mati,
mereka menciptakan insentif yang salah. Masyarakat mulai membiakkan kobra untuk
dibunuh dan mendapatkan hadiah. Ketika program dihentikan, para peternak
melepaskan kobra mereka, membuat masalah justru bertambah parah. Hal tersebut
menunjukkan betapa pentingnya memahami insentif sejati, bukan hanya insentif
yang tampak di permukaan.
Jurus Keenam: Mengetahui Kapan Harus Berhenti
Mengetahui kapan harus berhenti, mungkin ide paling
revolusioner dalam buku "Think Like a Freak: Berpikir Tidak
Biasa untuk Hasil yang Luar Biasa". Kita sering diajarkan untuk tidak
pernah menyerah. Winston Churchill mengatakan, "Jangan pernah
menyerah." Namun, Levitt dan Dubner berpendapat bahwa terkadang, berhenti
adalah hal yang paling berani yang bisa kita lakukan. Ada perbedaan antara
"biaya hangus" (uang atau waktu yang sudah diinvestasikan dan tidak
dapat ditarik kembali) dan "biaya kesempatan" (potensi keuntungan
yang hilang karena kita tidak memilih alternatif lain). Kita sering kali
terjebak dalam masalah yang gagal karena kita tidak mau melepaskan investasi
yang sudah terlanjur kita tanamkan.
Penelitian menunjukkan bahwa orang yang mampu melepaskan
tujuan yang tidak dapat dicapai akan mendapatkan manfaat fisik dan psikologis
yang lebih baik. Churchill sendiri, di balik nasihatnya yang terkenal, adalah
salah satu "pemberhenti" terbesar dalam sejarah, sering berganti
partai dan meninggalkan pemerintahan ketika kebijakan yang ada tidak berhasil.
Berhenti bukanlah kegagalan, melainkan tindakan melepaskan diri dari jalan
buntu untuk menemukan jalan yang lebih menjanjikan. Hal tersebut adalah inti
dari berpikir seperti seorang freak: melepaskan kearifan konvensional,
melepaskan batas buatan, dan melepaskan ketakutan mengakui apa yang tidak kita
ketahui.
Pada akhirnya, "Think Like a Freak: Berpikir
Tidak Biasa untuk Hasil yang Luar Biasa" bukanlah buku yang memberikan
jawaban, tetapi sebuah panduan untuk belajar bertanya. Buku tersebut adalah
kunci untuk membuka pemikiran yang lebih produktif, kreatif, dan rasional. Buku
tersebut mengajarkan kita untuk tidak hanya menjadi konsumen pengetahuan,
tetapi menjadi pencipta solusi. Jadi, lain kali Anda dihadapkan pada masalah
yang sulit, cobalah untuk berpikir tidak biasa. Tanyakan pada diri Anda,
"Apa masalah sebenarnya?" "Apa yang tidak saya ketahui?"
dan yang terpenting, "Bagaimana jika saya berpikir seperti anak-anak, atau
bahkan seorang freak?" Siapa tahu, Anda mungkin akan menemukan
kunci ajaib yang selama ini Anda cari.
Sumber:
Judul: "Think Like a Freak: Berpikir Tidak Biasa untuk Hasil yang Luar Biasa"
Penulis: Steven D. Levitt & Stephen J. Dubner
Posting Komentar untuk "KUNCI AJAIB MENYELESAIKAN MASALAH: BERPIKIR SEPERTI FREAK"
Posting Komentar