MARIA MONTESSORI DAN PEMBERONTAKAN TERHADAP SISTEM PENDIDIKAN KONVENSIONAL
Kenapa anak-anak lebih mudah lupa pelajaran di sekolah,
tetapi ingat betul cara main game, langkah-langkah membuat konten, atau bahkan
detail karakter dalam film favorit mereka? Pertanyaan tersebut, yang mungkin
sering muncul di benak orang tua dan pendidik, sebenarnya telah dijawab lebih
dari satu abad yang lalu oleh seorang dokter dan ilmuwan Italia: Maria
Montessori.
Montessori bukan sekadar nama metode, melainkan sebuah
filosofi yang memberontak. Lebih dari 100 tahun lalu, ia menyaksikan sistem
pendidikan yang justru menindas potensi alami anak, bukan menumbuhkannya. Dan
ia marah. Kemarahannya tersebut melahirkan pemikiran yang hingga hari ini terus
menggugat cara kita memandang anak dan proses belajar.
Melihat Anak Bukan sebagai Wadah Kosong
Salah satu kesalahan paling mendasar dalam pendidikan
konvensional adalah memandang anak sebagai wadah kosong—tabula
rasa—yang harus diisi dengan pengetahuan sebanyak-banyaknya oleh guru.
Montessori menolak pandangan tersebut secara keras. Baginya, setiap anak
adalah manusia kecil yang sudah memiliki dorongan alami untuk belajar.
Jiwa mereka telah dilengkapi dengan keingintahuan bawaan, kemampuan eksplorasi,
dan hasrat untuk menguasai lingkungannya.
Namun, apa yang sering terjadi di sekolah? Sistem
mengharuskan mereka duduk diam, mendengarkan pasif, menghafal materi, dan takut
membuat kesalahan. Tubuh dan pikiran mereka yang secara alami butuh bergerak,
bereksplorasi, dan merasakan kebebasan, justru dibelenggu. Akibatnya bisa
ditebak: konsentrasi buyar, motivasi belajar turun drastis, dan minat yang
seharusnya tumbuh subur malah mati sebelum berkembang.
Ini bukan salah anak. Ini adalah kesalahan cara kita
mendidik.
Montessori dengan tegas menyebut sistem yang memaksa anak
diam dan patuh tersebut bukanlah "pendidikan", melainkan "pelatihan
ketaatan". Dalam model tersebut, guru berposisi sebagai pusat
kekuasaan dan sumber satu-satunya kebenaran, sementara anak direduksi menjadi
objek pasif yang harus diisi. Ironisnya, kita sering menganggap kondisi tidak
wajar tersebut sebagai sesuatu yang "normal" dan "harus
dilalui".
Periode Sensitif: Momen Emas yang Sering Terlewat
Salah satu kontribusi terbesar Montessori dalam dunia
perkembangan anak adalah konsep "periode sensitif". Periode
tersebut merupakan fase-fase spesial dalam hidup anak di mana mereka menjadi
sangat peka dan mudah menyerap keterampilan atau pengetahuan tertentu—seperti
bahasa, keteraturan, sensorik, atau interaksi sosial. Periode tersebut adalah
jendela kesempatan emas yang terbuka untuk waktu terbatas.
Sayangnya, kurikulum kaku yang seragam untuk semua anak
seringkali mengabaikan momen emas tersebut. Kita memaksa semua anak untuk
belajar hal yang sama, dengan cara yang sama, pada usia yang sama. Anak yang
sedang berada dalam periode sensitif untuk gerakan halus malah disuruh duduk
menghafal; anak yang sedang peka terhadap angka malah dipaksa fokus pada huruf.
Akibatnya, potensi alami mereka tidak tersalurkan, dan kesempatan untuk
mengembangkan fondasi belajar yang kuat pun terlewat.
Montessori mengajak kita untuk mengamati, bukan hanya
mengajar. Dengan pengamatan yang cermat, kita dapat mengenali periode
sensitif anak dan menyiapkan lingkungan yang mendukung mereka mengeksplorasi
minat tersebut secara mendalam. Inilah yang disebutnya "mendukung
pertumbuhan yang sebenarnya"—bukan pertumbuhan yang kita inginkan sebagai
orang dewasa, tetapi pertumbuhan yang sesuai dengan kodrat dan ritme alamiah
anak.
Kebebasan dalam Batasan: Jalan Lain yang Ditawarkan
Montessori
Lalu, apa solusinya? Montessori menawarkan jalan yang berbeda
secara radikal: memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih
aktivitas sesuai minatnya, dalam batasan yang jelas dan lingkungan yang
dipersiapkan dengan saksama.
Di dalam ruang Montessori, anak bebas memilih material
belajar dari rak, menentukan berapa lama mereka akan mengerjakan sesuatu, dan
mengulanginya sebanyak yang mereka mau. Namun, kebebasan tersebut bukan tanpa
aturan. Ada batasan seperti menghormati orang lain, merawat material, dan
menyelesaikan pekerjaan sebelum mengambil yang baru. Dalam struktur
inilah, disiplin sejati lahir—bukan dari hukuman atau ancaman,
tetapi dari pemahaman dan tanggung jawab internal.
Peran guru pun berubah total. Guru bukan lagi
"pengajar" yang berdiri di depan kelas, tetapi "pengamat"
dan "penyiap lingkungan". Tugas mereka adalah mempersiapkan
lingkungan fisik dan sosial yang kaya stimulus, aman, dan tertata, lalu
mengamati anak untuk mengetahui kapan harus mengenalkan material baru atau
memberikan bantuan minimal. Pendekatan tersebut seringkali menghasilkan
keajaiban: anak-anak yang di label "hiperaktif" atau "sulit
diatur" di kelas konvensional, justru menunjukkan konsentrasi yang luar
biasa dan kedalaman belajar yang mengagumkan di lingkungan Montessori. Mereka
belajar karena ingin tahu, bukan karena disuruh.
Pendidikan Sejati: Bukan tentang Ranking, tapi tentang
Menjadi Diri Sendiri
Ini membawa kita pada inti filosofi Montessori: Apa
tujuan pendidikan sejati? Bagi Montessori, pendidikan sejati bukanlah
soal seberapa cepat anak bisa membaca, berhitung, atau menjadi juara kelas.
Tujuannya jauh lebih mendalam: membantu anak belajar menjadi dirinya
sendiri.
Pendidikan sejati adalah proses di mana anak membangun
karakter: menjadi pribadi yang percaya diri, mandiri, bertanggung jawab, penuh
empati, dan—yang terpenting—mencintai proses belajar seumur hidup. Montessori
percaya bahwa anak yang telah menemukan kegembiraan dalam belajar tidak akan
pernah berhenti menjelajah, bahkan setelah mereka dewasa.
Pernyataan Montessori berikut mungkin yang paling
menggugah: "Anak bukan masa depan, tapi pembaruan peradaban yang
sudah mulai berjalan sekarang." Setiap anak yang lahir membawa
potensi unik untuk memperbarui dunia. Tugas kita sebagai orang tua dan pendidik
bukanlah mendidik mereka agar menjadi seperti kita, atau sesuai dengan harapan
sosial semata, tetapi membantu mereka menjadi versi terbaik dari diri
mereka sendiri.
Refleksi untuk Kita Semua: Mungkin Bukan Anaknya yang
Bermasalah
Jika anak Anda tampak susah fokus, malas belajar, atau cepat
bosan dengan pelajaran sekolah, mungkin inilah saatnya untuk berefleksi: Mungkin
bukan dia yang bermasalah. Mungkin caranya yang salah. Sistem yang
menuntut konformitas dan kepatuhan pasif seringkali memadamkan api
keingintahuan yang seharusnya menyala-nyala.
Buku "Metode Montessori" bukan
sekadar panduan teknis, tetapi undangan untuk memikirkan ulang secara
mendasar tentang arti pendidikan. Buku tersebut mengajak kita memahami
paradoks yang indah: bahwa kebebasan yang terstruktur justru dapat
menjadi kunci lahirnya disiplin sejati, bahwa lingkungan yang dipersiapkan
dengan baik lebih efektif daripada instruksi langsung, dan bahwa kepercayaan
kepada proses alami anak lebih berharga daripada kontrol dan paksaan.
Montessori bukan tentang membeli peralatan kayu mahal atau
menerapkan aturan kaku. Montessori adalah cara memandang anak dengan
hormat, sebagai partner dalam perjalanan belajar. Ini tentang keberanian
untuk melepaskan kendali dan percaya bahwa anak memiliki navigasi internalnya
sendiri untuk tumbuh.
Mari kita renungkan: Apakah kita siap untuk mengubah cara
kita mendampingi anak? Apakah kita berani menciptakan ruang—di rumah maupun di
sekolah—di mana anak boleh menjadi pembelajar aktif, penjelajah yang antusias,
dan manusia merdeka yang sedang bertumbuh?
Pemberontakan Maria Montessori lebih dari 100 tahun yang lalu
masih relevan hingga detik ini. Suaranya mengingatkan kita bahwa pendidikan
yang manusiawi selalu mungkin—dimulai dari melihat cahaya dalam diri setiap
anak, dan memilih untuk tidak memadamkannya.
Sudah siap berubah?

Posting Komentar untuk "MARIA MONTESSORI DAN PEMBERONTAKAN TERHADAP SISTEM PENDIDIKAN KONVENSIONAL"
Posting Komentar