🤫 DINDING YANG BERBISIK: IRONI SEKOLAH SEBAGAI MARKAS INTELIJEN DAN PEMBUNUHAN KARAKTER PENDIDIKAN
Pernahkah Anda berjalan melalui lorong sekolah, melewati
ruang guru yang riuh, dan merasakan bisikan aneh—bukan dari murid yang sedang
bergosip, melainkan dari dinding bata yang seolah mengawasi setiap langkah?
Sekolah, seharusnya menjadi kuil tempat ilmu pengetahuan dan
karakter tumbuh. Namun, bagi sebagian besar pendidik, terutama mereka yang
terjebak dalam pusaran birokrasi dan hierarki yang rapuh, sekolah telah berubah
fungsi. Sekolah bukan lagi sekadar tempat mengajar; sekolah telah menjadi markas
intelijen mini, tempat kepercayaan diri perlahan dihancurkan, dan
tempat lahirnya sosok misterius yang oleh unggahan viral belakangan ini disebut
sebagai "Guru Mata-Mata."
Ironi tersebut adalah pukulan telak bagi idealisme
pendidikan. Kita berbicara tentang mutu, kurikulum merdeka, dan profesionalisme
guru, tetapi lupa bahwa fondasi utama—lingkungan kerja yang aman, jujur, dan
suportif—telah terkikis oleh persaingan yang tidak sehat dan loyalitas yang
salah kaprah.
Artikel berikut akan membedah fenomena Guru Mata-Mata,
mengupas tuntas mengapa mereka muncul, bagaimana mereka beroperasi, dan yang
paling penting, bagaimana dinding-dinding sekolah kita, pada akhirnya, adalah
saksi bisu yang paling jujur.
I. Topeng dan Taring: Anatomi Permainan Dua Wajah
Dinding sekolah memiliki memori yang sempurna. Dinding
tersebut hafal siapa yang bermain dua wajah. Permainan tersebut merupakan pola
yang universal di setiap instansi, namun terasa lebih menyakitkan di dunia
pendidikan, karena permainan tersebut meracuni sumur moralitas.
1. Manifestasi Ganda di Hadapan Atasan
Ketika Atasan Lewat: "Siap, Pak! Semua berjalan
baik!"
Pola pertama adalah menciptakan ilusi kesucian dan
profesionalisme di hadapan pimpinan. Mereka tampil sebagai guru paling suci,
paling patuh, dan paling bersemangat. Mereka adalah guru yang pertama
mengangkat tangan untuk tugas tambahan, guru yang paling rajin melaporkan
keberhasilan (bahkan yang dilebih-lebihkan), dan guru yang paling vokal dalam
mendukung kebijakan baru.
2. Taring Tajam di Belakang Rekan Kerja
Ketika Atasan Pergi: "Lihat tuh si A, kerjanya cuma
gitu-gitu aja!"
Pola kedua, dan yang paling merusak, adalah intrik di
belakang layar. Guru Mata-Mata adalah ahli dalam pembunuhan karakter melalui
bisikan. Mereka tidak hanya melaporkan fakta, tetapi juga menafsirkan,
menambahkan bumbu, dan menyebarkannya—jauh lebih berbahaya daripada sekadar
kamera Closed-Circuit TeleVision (CCTV) yang hanya merekam.
Mereka menargetkan:
- Guru
yang bekerja keras namun tidak pandai "mencari muka."
- Guru
honorer yang
posisinya rentan.
- Rekan
kerja yang dianggap saingan untuk posisi atau pujian.
Dinding ruang guru, alih-alih menjadi tempat istirahat dan
kolaborasi, telah berubah menjadi "server pusat mata-mata."
Setiap gerakan, keterlambatan, obrolan santai, bahkan helaan napas, dicatat dan
diolah menjadi bahan laporan rahasia.
Pesan Dinding: "Topeng kalian jatuh setiap hari, tapi kalian pura-pura
tidak mendengar bunyinya."
II. Loyalitas yang Salah Kaprah: Bukan ke Moral, tapi ke
Kursi Kekuasaan
Mengapa fenomena Guru Mata-Mata begitu masif dan subur?
Jawabannya terletak pada distorsi nilai dan motif yang mendalam.
1. Tujuan yang Bukan Mutu, tapi Kedekatan dengan Kekuasaan
Ironi terbesar adalah bahwa guru yang paling
semangat mengawasi rekan kerja, biasanya bukan guru yang paling semangat
mengajar.
Tujuan mereka bergeser. Bukan lagi tentang mutu pendidikan,
bukan lagi tentang bagaimana mencerdaskan anak bangsa, tetapi tentang mendekat
ke kekuasaan—entah itu demi kenaikan jabatan, pengamanan posisi, atau
sekadar mendapatkan perlakuan istimewa.
Dinding tahu betul: siapa yang benar-benar bekerja keras demi
murid, dan siapa yang hanya bekerja keras mencari muka.
2. Mengapa yang Kedua Lebih Sering Naik Jabatan?
Sangat menyedihkan, dalam sistem birokrasi sekolah yang
cacat, Guru Mata-Mata seringkali adalah yang paling sukses secara karier.
Mengapa?
- Visibilitas: Mereka memastikan atasan selalu
melihat mereka, terlepas dari kualitas mengajar mereka.
- Keamanan
Atasan: Mereka
menyediakan intelijen yang membuat atasan merasa aman dan berkuasa, tahu
segala hal yang terjadi di bawahnya.
- Eliminasi
Saingan:
Laporan mereka membantu menyingkirkan atau menahan laju rekan kerja yang
berpotensi menjadi pesaing serius.
Alasan-alasan tersebut menciptakan budaya yang mengajarkan
bahwa kemampuan bermanuver dan melapor lebih dihargai daripada kompetensi
dan dedikasi mengajar. Ajaran tersebut merupakan pembunuhan karakter
pendidikan secara kolektif.
III. Mengapa Masalah Nyata Diabaikan?
Dalam kegigihan mencatat kesalahan kecil orang lain, Guru
Mata-Mata justru menunjukkan kelemahan moral dan intelektual yang fatal: mereka
gagal melihat kerusakan sistem yang jauh lebih besar.
1. Memilih Pekerjaan yang Lebih Mudah: Mengawasi Sesama Guru
Sistem pendidikan seringkali dihantui oleh masalah struktural
yang masif:
- Gaji
Guru Honorer yang tidak Manusiawi: Mereka tidak berani melaporkan atau vokal tentang
ketidakadilan tersebut karena tidak mendekatkan mereka pada atasan.
- Fasilitas
Sekolah yang Tertinggal: Bukan prioritas karena tidak menghasilkan poin instan.
- Kebijakan
Tumpang Tindih dan Beban Administrasi Tak Berujung: Hal-hal tersebut terlalu
kompleks untuk dijadikan gosip cepat.
Sehingga, mereka memilih pekerjaan yang lebih mudah: mengawasi
sesama guru. Mencatat kesalahan orang lain adalah cara cepat dan rendah
risiko untuk memposisikan diri di atas. Dengan kata lain, mereka menggunakan
orang lain sebagai tangga menuju kekuasaan.
2. Lingkungan Penuh Kecurigaan: Sekolah sebagai Labirin
Bisik-Bisik
Jika setiap nafas, setiap gelas air minum yang diambil,
setiap obrolan, bisa menjadi laporan rahasia, maka sekolah berhenti menjadi
tempat yang nyaman.
- Guru
Takut Bicara.
- Guru
Takut Bercerita.
- Guru
bahkan takut bernapas terlalu keras.
Sekolah berubah menjadi "labirin bisik-bisik."
Kepercayaan antarrekan kerja hancur perlahan. Ruang guru berubah menjadi ruang
interogasi tanpa suara. Semua orang diawasi, tetapi anehnya, tidak ada yang
benar-benar dilindungi—baik dari ketidakadilan sistem, maupun dari serangan
verbal rekan sejawat.
Pesan Dinding (seandainya ia teriak): "Kalian sibuk memata-matai,
tapi lupa memanusiakan!"
IV. Refleksi Filosofis: Siapa Guru Paling Rajin Sebenarnya?
Pada akhirnya, di tengah riuh rendah intrik tersebut,
muncullah satu entitas yang paling jujur: Dinding.
1. Dinding: Penjaga Kebenaran yang Bungkam
Dinding tidak memihak siapa pun. Dinding tidak mencari
jabatan. Dinding tidak memata-matai demi pujian. Dinding hanya menyimpan
kebenaran yang tidak berani dikatakan manusia.
Jika suatu hari dinding sekolah retak dan suaranya keluar, maka
dinding mungkin akan menyampaikan kesimpulan yang paling menyakitkan dari
semua:
"Di sekolah ini, pelajaran paling diajarkan adalah curiga. Dan guru paling rajin adalah guru
yang sibuk mengintai, bukan yang sibuk mengajar."
Inilah kritik puncak dari fenomena Guru Mata-Mata. Dedikasi
mereka yang luar biasa diarahkan pada hal yang salah. Energi yang seharusnya
dipakai untuk merancang pembelajaran inovatif atau membimbing murid yang sulit,
justru dihabiskan untuk menghitung dosa-dosa kecil rekan kerja.
2. Menegaskan Kembali Etos Guru
Etos sejati seorang guru adalah:
- Loyalitas
pada Murid:
Prioritas utama adalah perkembangan dan keselamatan murid.
- Loyalitas
pada Moral:
Berdiri tegak melawan ketidakadilan, termasuk ketidakadilan dalam sistem
penggajian atau birokrasi.
- Loyalitas
pada Profesi: Saling
mendukung sesama guru, bukan saling menjatuhkan.
Bagi para pendidik sejati, marilah kita jadikan kritik sebagai
cermin. Biarkan dinding-dinding tersebut hanya menyimpan memori kebaikan dan
tawa, bukan bisikan-bisikan pengkhianatan. Tugas kita adalah membangun sistem
yang menghargai dedikasi mengajar, bukan kelincahan memata-matai.
Saatnya Membangun Sekolah, Bukan Markas Intelijen
Sekolah harus kembali menjadi rumah bagi para profesional
yang saling mendukung. Untuk mengubah budaya "Guru Mata-Mata", kita
perlu:
1. Kepemimpinan yang Berintegritas:
Atasan harus menilai berdasarkan kinerja nyata dan dampak pada murid, bukan
berdasarkan laporan bisikan.
2. Transparansi Sistem: Meminimalkan
ruang untuk intrik dengan membuat kebijakan dan evaluasi yang transparan dan
terukur.
3. Membela yang Benar: Guru-guru yang
jujur dan berdedikasi harus berani bersuara dan mendukung rekan kerja yang
menjadi korban.
Mari kita pastikan bahwa di sekolah-sekolah kita, pelajaran
yang paling diajarkan adalah kolaborasi dan empati, bukan curiga dan saling
intai.
Sumber:
https://vt.tiktok.com/ZSfuKo2hT/

Posting Komentar untuk "🤫 DINDING YANG BERBISIK: IRONI SEKOLAH SEBAGAI MARKAS INTELIJEN DAN PEMBUNUHAN KARAKTER PENDIDIKAN"
Posting Komentar