DINDING-DINDING YANG TERTAWA: MENYINGKAP TRAGEDI KEKUASAAN DAN MATINYA PROFESIONALISME DI RUANG KEPALA SEKOLAH
Dalam ranah pendidikan, kita sering mendengar pepatah tak tertulis tentang dinamika kekuasaan di lingkungan sekolah. Salah satu yang paling klasik adalah anggapan bahwa "Jika di Kantor Guru Ada Dinding Berbisik, Maka di Kantor Kepala Sekolah (Kepsek) Ada Dinding Tertawa."
Dinding yang "berbisik" di kantor guru
adalah metafora yang sudah lama kita kenal. Hal itu mewakili gosip,
desas-desus, bisik-bisik membahas kebijakan sekolah yang mereka sendiri tidak
pahami sumbernya, memprediksi keputusan yang berubah-ubah, dan menebak arah
angin kekuasaan yang berembus dari ruang Kepala Sekolah. Bisikan tersebut
adalah gejala klasik dari frustrasi, ketidakpastian, atau sekadar sifat alamiah
manusia dalam sebuah lingkungan kerja.
Namun, yang jauh lebih menggelisahkan—dan jauh lebih
berbahaya—adalah fenomena yang kedua: dinding yang "tertawa"
di kantor Kepsek. Tawa tersebut bukanlah tawa bahagia atau lucu; melainkan tawa
yang sarat akan ironi, sinisme, dan tragedi. Dinding tersebut tertawa
menyaksikan ironi jabatan yang hanya tinggal nama, menertawakan marwah
kepemimpinan yang telah lama hilang.
Artikel berikut akan membedah fenomena organisasi yang kronis
tersebut. Bukan sekadar cerita gosip murahan, melainkan tanda-tanda penyakit
yang menggerogoti esensi institusi pendidikan. Kita akan melihat bagaimana
kekuasaan terbalik, profesionalisme runtuh, dan yang paling tragis, bagaimana
kualitas pendidikan menjadi korban tak terlihat dari drama politik kantor yang
kerdil tersebut.
1. Dari Bisikan Biasa Menjadi Tangan Kekuasaan
Fenomena guru saling berbisik bukanlah hal baru. Fenomena
tersebut terjadi di hampir setiap institusi, sebagai bentuk mekanisme koping
atau komunikasi informal. Namun, saat ini, telah muncul evolusi yang jauh lebih
destruktif. Bisikan-bisikan tersebut kini telah terkonsentrasi dan
termanifestasi menjadi satu suara yang berwenang, melahirkan apa yang bisa kita
sebut sebagai "Guru Pembisik" atau "Tangan
Kekuasaan."
Awalnya, individu tersebut mungkin hanya guru kepercayaan
sang kepala sekolah, seseorang yang dekat secara personal atau mungkin memiliki
kompetensi tertentu. Namun, tanpa disadari, peran tersebut melampaui batas
kewajaran. Mereka berubah menjadi bayangan yang lebih menakutkan daripada sosok
Kepala Sekolah itu sendiri.
Di atas kertas, Kepala Sekolah adalah pemimpin tertinggi.
Namun, dalam praktik sehari-hari, "Guru Pembisik" inilah yang
memegang kendali. Mereka secara de facto:
- Menentukan
kebijakan:
Kebijakan vital sekolah tidak lagi
lahir dari rapat dewan guru yang transparan atau hasil musyawarah, melainkan
dari "bisikan" di ruang tertutup.
- Mempengaruhi
keputusan personalia:
Mulai dari penempatan tugas guru,
mutasi, hingga rekomendasi kenaikan jabatan atau sanksi, semuanya melalui pintu
persetujuan mereka.
- Menjadi
corong "kebenaran yang harus diikuti":
Pandangan mereka menjadi dogma.
Argumen yang bertentangan, bahkan jika didukung data dan logika, akan
dipatahkan atau diabaikan.
- Mengatur
narasi Kepala Sekolah:
Dalam kasus yang paling parah, mereka
bahkan mengatur apa yang harus Kepala Sekolah katakan dalam forum resmi.
Dampak psikologisnya sangat jelas: suara mereka lebih
didengar, perintah mereka lebih ditaati, dan kehadiran mereka jauh lebih
ditakuti oleh guru dan staf lainnya. Hal tersebut merupakan momen krusial
ketika profesionalitas—yang seharusnya menjadi landasan utama institusi
pendidikan—runtuh, digantikan oleh politik kantor yang egois.
Analisis Kekuatan Guru Pembisik:
Mengapa fenomena tersebut bisa terjadi? Ada beberapa faktor
yang mendorong seorang guru menjadi "Tangan Kekuasaan" yang seolah
tak tersentuh:
1. Kelemahan Kepemimpinan:
Kepala Sekolah yang bersangkutan
mungkin memiliki kepribadian yang menghindari konflik, kurang memiliki visi
yang kuat, atau tidak menguasai detail operasional sekolah. Mereka menyerahkan
kontrol kepada orang yang mereka percayai demi kenyamanan (zona nyaman
kepemimpinan).
2. Jasa dan Utang Budi Politik:
Tidak jarang, guru tertentu memiliki
koneksi, "jasa" masa lalu, atau memegang informasi penting yang
membuat Kepala Sekolah merasa berutang budi atau tertekan. Kekuasaan sang guru
bukan lahir dari kompetensi, melainkan dari posisi tawar politik.
3. Ketergantungan Operasional:
Guru tersebut mungkin adalah
satu-satunya yang menguasai sistem administrasi, keuangan, atau data vital
sekolah. Ketergantungan ini membuat Kepala Sekolah tidak berani mengambil
risiko untuk "melawan."
2. Kepala Sekolah: Sang Simbol dan Hilangnya Marwah
Kepemimpinan
Pada dasarnya, Kepala Sekolah dalam skema tersebut telah
bertransformasi menjadi "Kepala Sekolah Hanyalah Simbol."
Secara administratif, ia adalah pemimpin tertinggi, namun secara fungsional, ia
hanyalah boneka yang menjalankan skenario yang ditulis oleh pihak lain.
Kehilangan kontrol tersebut bukan hanya masalah
administratif, tetapi juga tragedi psikologis bagi sang pemimpin itu sendiri. Kepala
Sekolah kehilangan marwahnya. Marwah kepemimpinan adalah integritas,
independensi, dan kemampuan untuk memimpin dengan visi yang jelas, bukan
sekadar tanda tangan.
Ketika kebijakan sekolah dibuat oleh satu suara dominan,
kebijakan tersebut rentan terdistorsi oleh kepentingan pribadi, bukan
kepentingan institusi. Kita bisa melihat manifestasinya dalam beberapa hal:
- Anggaran
yang Tidak Transparan:
Penggunaan dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) atau dana komite menjadi area rawan yang diatur oleh segelintir
orang.
- Standar
Ganda (Double Standard):
Aturan disiplin atau penilaian
kinerja hanya berlaku bagi guru yang "tidak berkuasa." Guru yang
berada di lingkaran inti dibiarkan lolos dari pertanggungjawaban.
- Program
yang Terjebak Ego:
Program sekolah yang seharusnya
berbasis kebutuhan murid dan data, sering kali didorong oleh ego atau proyek
kepentingan yang menguntungkan kelompok tertentu, bukan untuk peningkatan
kualitas pendidikan secara fundamental.
Sangat ironis, seorang pemimpin yang seharusnya menjadi
pengambil keputusan utama justru menjadi sosok yang paling terkurung dalam
jabatannya sendiri. Ia terperangkap antara menjaga citra di luar dan menghadapi
kenyataan pahit di dalam, di mana kekuasaan sejatinya telah digenggam oleh
bayangannya.
3. Dinding Kepsek yang Tertawa: Simbol Kekuasaan yang
Terbalik
Inilah puncak dari tragedi tersebut: Dinding Kantor Kepala
Sekolah yang Tertawa.
Bayangkanlah dinding-dinding tersebut. Mereka adalah saksi
bisu setiap pertemuan rahasia, setiap bisikan yang lebih berkuasa daripada
pidato formal. Mereka menyaksikan:
1. Seorang Kepala Sekolah yang
kehilangan kendali, hanya bisa mengangguk dan menjalankan skrip.
2. Para "penguasa" baru (Guru
Pembisik) yang dengan sombongnya menentukan arah kapal sekolah, padahal mereka
tidak memiliki mandat kepemimpinan.
3. Keputusan sekolah yang bukan lagi
hasil musyawarah dan kearifan, melainkan hasil negosiasi kepentingan atau
tekanan sepihak.
4. Guru-guru lain yang hanya bisa
"mengelus dada" atau berbisik di kantor mereka sendiri, kehilangan
ruang bicara yang sehat dan demokratis.
Dinding tersebut tertawa bukan karena ada lelucon lucu,
melainkan karena mereka menyaksikan betapa rapuhnya institusi pendidikan tersebut.
Institusi yang seharusnya mengajarkan etika, integritas, dan profesionalisme,
justru terjebak dalam pusaran konflik internal dan drama politik yang jauh
lebih buruk daripada sinetron murahan.
Tawa sarkastik dinding tersebut adalah alarm: sekolah telah
berhenti menjadi lembaga pendidikan formal yang berjalan berdasarkan sistem,
aturan, dan meritokrasi. Sekolah telah berubah menjadi kerajaan kecil tanpa
aturan yang jelas (small, rule-less kingdom), di mana satu orang
diberikan wewenang terlalu besar, mengubah semua dinamika kekuasaan menjadi
feodalistik.
Pada akhirnya, bukan hanya Kepala Sekolah yang terkurung. Guru-guru
lain juga sama-sama terkurung. Mereka terkurung dalam rasa takut untuk
menyuarakan kritik, takut akan konsekuensi politis jika tidak patuh, dan
terkurung dalam atmosfer kerja yang tidak sehat. Profesionalisme mati saat
kolaborasi digantikan oleh dominasi, dan akuntabilitas digantikan oleh
favoritisme.
4. Dampak Langsung dan Fatal pada Kualitas Pendidikan
Apa hubungan semua drama politik tersebut dengan kualitas
pendidikan? Jawabannya adalah hubungan sebab-akibat yang sangat fatal.
Ketika sebuah sekolah dikelola bukan berdasarkan kebutuhan murid
atau kebijakan yang teruji, melainkan berdasarkan suara satu orang "guru
superpower," maka dampak langsungnya adalah:
1. Objektivitas Hilang:
Penilaian kinerja guru, evaluasi
program, bahkan penentuan kelulusan atau prestasi murid, berisiko diwarnai oleh
kedekatan politik. Keputusan tidak lagi berdasarkan data dan logika (objektif),
tetapi berdasarkan "siapa yang paling berpengaruh."
2. Profesionalisme Mati:
Motivasi guru untuk meningkatkan
kompetensi akan hilang. Mereka tahu bahwa kerja keras tidak akan dihargai
sebanding dengan kedekatan mereka dengan lingkaran kekuasaan. Mengapa harus
berinovasi jika inovasi akan dipadamkan demi menjaga status quo?
3. Suasana Kerja Penuh Ketakutan:
Ketakutan adalah musuh utama
kreativitas dan kolaborasi. Guru-guru menjadi pasif, enggan berbagi ide baru,
dan hanya fokus pada kepatuhan agar tidak berurusan dengan "Tangan
Kekuasaan."
4. Inovasi Dipadamkan:
Guru-guru muda atau guru yang
bersemangat membawa perubahan akan cepat merasa lelah. Ide-ide baru mereka
dianggap mengganggu stabilitas politik, sehingga ditolak atau dikebiri. Sekolah
stagnan.
Pada titik tersebut, sistem sekolah telah lumpuh. Sekolah
tidak berjalan berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) atau visi
kepemimpinan, tetapi berdasarkan "siapa yang paling berpengaruh"
di balik pintu Kepala Sekolah.
Korban paling tak terlihat dari semua kekacauan tersebut
adalah murid. Mereka adalah penerima dampak akhir dari hilangnya
objektivitas, matinya profesionalisme, dan stagnansi inovasi. Masa depan mereka
dipertaruhkan demi drama kekuasaan internal yang seharusnya tidak pernah ada.
Kualitas pendidikan secara keseluruhan pun jatuh.
5. Jalan Keluar: Mengembalikan Kepemimpinan pada Kepemimpinan
Untuk menghentikan tawa ironis dinding-dinding tersebut,
harus ada langkah tegas dan mendasar: Mengembalikan Kepemimpinan pada Marwah
Kepemimpinannya Sejati.
Sekolah, sebagai institusi pembentuk masa depan, membutuhkan
lebih dari sekadar administrator; mereka membutuhkan pemimpin sejati, bukan
boneka.
Kriteria Kepemimpinan Sejati:
1. Membutuhkan Kebijakan, Bukan Bisikan:
Kebijakan harus lahir dari proses
yang transparan, melibatkan musyawarah dewan guru, berbasis data kebutuhan murid,
dan dikomunikasikan secara terbuka. Kebijakan tidak boleh lahir dari "ruang
gelap" kepentingan sepihak.
2. Membutuhkan Kolaborasi, Bukan
Dominasi:
Pemimpin yang baik berani
mendengarkan kritik dan tidak tunduk pada satu kelompok tunggal. Ia menciptakan
mekanisme di mana semua guru (bahkan staf terkecil) merasa memiliki ruang
bicara yang aman dan dihargai (psikologis safety).
3. Membutuhkan Keberanian dan
Integritas:
Seorang Kepala Sekolah sejati harus
berani mengambil keputusan yang tidak populer jika itu demi kepentingan sekolah
dan murid. Ia harus berani memutus rantai "utang budi politik" dan
meletakkan profesionalisme di atas segalanya.
4. Membutuhkan Sistem, Bukan Orang:
Sekolah harus diperkuat dengan
sistem, aturan, dan SOP yang jelas, sehingga ketika terjadi pergantian pemimpin
atau guru, operasional sekolah tetap berjalan dengan baik. Sekolah harus
berjalan berdasarkan sistem, bukan berdasarkan mood atau selera personal
"orang kuat."
Jika perubahan fundamental tersebut tidak terjadi, maka tawa
sarkastik dinding di ruang Kepala Sekolah akan terus bergema. Mereka akan
selamanya menyaksikan sekolah yang dipimpin oleh seseorang yang secara legal
adalah pemimpin, tetapi secara moral dan fungsional telah gagal memimpin.
Saatnya bagi para pemangku kepentingan, dari guru hingga
yayasan dan dinas terkait, untuk menuntut transparansi, profesionalisme, dan
integritas sejati. Hanya dengan mengembalikan esensi kepemimpinan, kita dapat
mengubah tawa ironis dinding-dinding tersebut menjadi keheningan yang tenang—keheningan
yang muncul karena pekerjaan dilakukan dengan benar, sistem berjalan
semestinya, dan fokus utama kembali pada kualitas pendidikan.
Sumber:

Posting Komentar untuk "DINDING-DINDING YANG TERTAWA: MENYINGKAP TRAGEDI KEKUASAAN DAN MATINYA PROFESIONALISME DI RUANG KEPALA SEKOLAH"
Posting Komentar